Pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, Komite Olimpiade Internasional, Komite Paralimpiade Internasional, panitia penyelenggara Tokyo 2020, pemerintah Jepang dan Tokyo, menyatakan komitmen mereka untuk menjadikan Olimpiade dan Paralimpiade mendatang sebagai ajang bersejarah. Dimana kedua ajang tersebut memasuki buku sejarah sebagai Olimpiade pertama dimana jumlah proporsi atlet laki-laki dan perempuan yang berlaga adalah sama.
Pengumuman tersebut muncul setelah beberapa bulan yang sulit untuk Olimpiade Tokyo, dimana Yoshiro Mori, yang saat itu menjabat Presiden panpel Tokyo 2020 mengundurkan diri setelah mengeluarkan komentar seksis mengenai anggota perempuan panpel. Tidak lama berselang, Hiroshi Sasaki, kepala kreatif Tokyo 2020, juga mengundurkan diri setelah membuat komentar tidak pantas mengenai Naomi Watanabe ketika mendiskusikan upacara pembukaan Olimpiade 2020. Pengganti Yoshiro Mori, Hashimoto Seiko, yang juga mantan atlet Olimpiade pun berkomitmen untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan gender di panpel dan masyarakat Jepang.
Indonesia, sepanjang sejarahnya mengikuti Olimpiade, belum pernah mencapai status “keseimbangan gender” tersebut. Di penampilan pertamanya di Olimpiade Helsinki 1952, tidak ada satupun perempuan yang menjadi bagian dari kontingen Indonesia. Begitu pula di Olimpiade 1968 di Mexico City, ketika Indonesia hanya mengirimkan enam atlet laki-laki.
Padahal, di ajang pesta olahraga paling akbar sejagad tersebut, justru perempuan-perempuan Indonesia lah yang pertama kali menorehkan kesuksesan dalam koleksi medali. Dimulai dari tiga srikandi di cabang olahraga panahan di Olimpiade Seoul 1988. Ketika itu Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani membawa pulang medali Olimpiade pertama bagi Indonesia, yaitu medali perak, di nomor tim. Empat tahun kemudian, Susi Susanti meraih medali emas Olimpiade pertama bagi Merah-Putih di nomor tunggal putri cabang olahraga bulutangkis.
Bahkan sejak pencapaian tiga srikandi panahan di Olimpiade 1988, atlet perempuan Indonesia tidak pernah absen dalam memenangkan medali Olimpiade bagi Indonesia. Tentunya pencapaian ini merupakan sesuatu yang membanggakan dan patut dirayakan.
Namun, lebih daripada itu, semua pemegang kepentingan harus bersatu padu untuk membuat inisiatif-inisiatif yang dapat mendukung munculnya para Kartini baru di olahraga Indonesia yang dapat mencetak prestasi di ajang internasional. Tidak hanya untuk meningkatkan partisipasi perempuan sebagai atlet, tetapi juga di dalam organisasi dan administrasi olahraga sebagai pengambil keputusan.
Olahraga perempuan merupakan sebuah area yang masih terus berkembang, terutama dari segi komersil. Di Inggris, Liga Super Wanita (Women’s Super League) yang baru saja merayakan 10 tahun berdirinya kompetisi baru saja menjual hak siar ke BBC dan Sky dengan nilai £8 juta per musim (sekitar Rp 161 miliar). Bahkan menurut riset dari agensi Two Circles, olahraga perempuan dapat menghasilkan pemasukan senilai £1 miliar (sekitar Rp 161 triliun) per tahun pada tahun 2030, sehingga menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat.
Tidak hanya itu, di Amerika Serikat, para atlet Women’s National Basketball Association (WNBA) membuktikan kapasitas mereka sebagai aktivis modern dengan berbagai inisiatif untuk mengatasi masalah keadilan sosial, rasial, dan juga pemilihan umum yang berlangsung 2020 silam.
Faktanya adalah masih banyak potensial yang bisa digali dari olahraga perempuan. Keseimbangan gender baik dalam partisipasi maupun administrasi olahraga harus menjadi standar, bukan hanya sesuatu yang terjadi satu kali saja.