11 Maret menandakan 69 tahun sejak Komite Olimpiade Indonesia resmi diakui menjadi anggota International Olympic Committee (IOC). Untuk merayakan momen tersebut, tim media Komite Olimpiade Indonesia melihat kembali momen-momen penting dalam 69 tahun berdirinya Komite Olimpiade Indonesia serta menatap ke masa depan.
Berdirinya Komite Olimpiade Indonesia, Debut di Olimpiade
Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Komite Olimpiade Indonesia didirikan di kota Yogyakarta, dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Presiden pertama. Tidak lama berselang, Komite Olimpiade Indonesia mengirimkan surat dalam bahasa Prancis kepada IOC menyatakan keinginan Indonesia untuk mengirimkan delegasi atlet ke Olimpiade 1948 yang akan diselenggarakan di London. Tetapi, akibat agresi militer yang terjadi pada tahun 1948, keinginan Indonesia berpartisipasi di Olimpiade kandas untuk sementara. Tetapi, meski situasi politik dan keamanan di dalam negeri masih belum stabil, Komite Olimpiade Indonesia tidak berdiam diri. Tahun 1951, sebuah surat kembali dilayangkan ke IOC, kali ini untuk menyatakan bahwa Komite Olimpiade Indonesia memiliki statuta yang sesuai dengan Piagam Olimpiade dan meminta pengakuan dari organisasi yang bermarkas di Swiss tersebut. Pada Maret 1952, sebuah balasan datang dari IOC, ditandantangani oleh Kanselir IOC, Otto Mayer. Dengan demikian, dimulailah keanggotaan Komite Olimpiade Indonesia di IOC. Empat bulan berselang, Indonesia pun mengirimkan delegasi pertama mereka ke Olimpiade 1952 di Helsinki, ibu kota Finlandia. Maram Sudarmodjo (atletik), Habib Suharko (renang), dan Ging Hwie Thio (angkat besi) merupakan tiga atlet yang berpartisipasi di Olimpiade tersebut.
Medali Pertama dan Tradisi Emas
Setelah penampilan pertama mereka di Helsinki, Indonesia harus menunggu 36 tahun untuk berdiri di podium Olimpiade. Di Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan, sebuah medali perak dipersembahkan oleh tiga atlet Indonesia yakni Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani di cabang olahraga panahan. Kini, giliran medali emas yang didambakan oleh masyarakat Indonesia. Penantian tersebut tidak membutuhkan waktu lama, empat tahun kemudian di Barcelona, dua pebulutangkis Indonesia, Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, berhasil menyumbangkan medali emas di cabang olahraga bulutangkis, yang saat itu juga untuk pertama kalinya menjadi bagian resmi dari program Olimpiade. Medali emas ini sendiri bisa dibilang merupakan buah dari sebuah proses yang dimulai 20 tahun sebelumnya. Di Olimpiade 1972 di Munchen, Jerman Barat, Indonesia turut berpartisipasi di bulutangkis, yang saat itu masih berstatus olahraga demonstrasi. Dari empat event, Indonesia sukses menyabet dua emas, sedangkan dua event lainnya menghasilkan masing-masing satu medali perak (Utami Dewi, tunggal putri) dan satu medali perunggu (Christian Hadinata dan Utami Dewi, ganda campuran). Dua medali emas Indonesia sendiri disumbangkan oleh Christian Hadinata dan Ade Chandra di ganda putra, dan Rudy Hartono di tunggal putra, yang kala itu tengah berada di puncak permainannya dengan mendominasi ajang All-England selama delapan tahun berturut-turut. Berangkat dari situ, Indonesia meneruskan tradisi medali emas di bulutangkis, dimana setidaknya satu medali emas berhasil diraih (dengan pengecualian pada London 2012) di setiap Olimpiade. Tradisi ini tentunya harus diteruskan, dan sebisa mungkin meluas juga ke cabang-cabang olahraga lain.
Menjadi Organisasi Independen
Pada tahun 2000-an, Komite Olimpiade Indonesia mengalami perubahan drastis. Sebelumnya, fungsi dari Komite Olimpiade Indonesia menjadi bagian dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Tetapi, dengan terbitnya Undang-Undang No. 3 tahun 2005 mengenai Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), Komite Olimpiade Indonesia menjadi organisasi independen yang terpisah dari KONI. Dalam UU SKN tersebut, Komite Olimpiade Indonesia bertugas untuk mengatur keikutsertaan Indonesia di berbagai ajang multi-event internasional seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Tidak hanya itu, Komite Olimpiade Indonesia juga berhak untuk mengusulkan Indonesia menjadi tuan rumah ajang multi-event, seperti Asian Games dan Para Games pada tahun 2018 silam di Jakarta-Palembang. Tetapi, Komite Olimpiade Indonesia tidak berhenti hanya sampai di situ saja.
Berbagai Rintangan dan Membawa Olimpiade ke Indonesia
Tidak dapat dipungkiri, perjalanan Komite Olimpiade Indonesia dipenuhi berbagai rintangan, sesuatu yang lumrah dalam dunia olahraga. Akan tetapi, pandemi COVID-19 mungkin menjadi salah satu tantangan terberat tidak hanya bagi Komite Olimpiade Indonesia, tetapi juga bagi seluruh insan olahraga di Tanah Air. Namun, layaknya obor Olimpiade dari Olympus yang tidak boleh padam, demikian semangat Komite Olimpiade Indonesia terus membara dalam melaksanakan perannya memajukan olahraga di Indonesia, baik dalam mengirimkan delegasi Indonesia berpartisipasi di berbagai ajang multi-event, atau dengan menjadi tuan rumah ajang multi-event. Saat ini, Komite Olimpiade Indonesia telah memasuki fase Diskusi Berkelanjutan dengan Komisi Tuan RUmah Olimpiade Masa Depan dari IOC membahas kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade yang akan datang. Perjalanan ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh Komite Olimpiade Indonesia sendirian, tetapi membutuhkan dukungan dari seluruh insan olahraga di Indonesia. Komite Olimpiade Indonesia yakin dengan menjadi tuan rumah ajang Olimpiade dan Paralimpiade, akan meninggalkan warisan yang tak ternilai untuk generasi mendatang di seluruh penjuru Tanah Air.
Majulah terus Komite Olimpiade Indonesia!