JAKARTA (30/11/2022) - Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali memastikan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki komitmen terhadap olahraga yang bersih dan disiplin terhadap WADA (World Anti-Doping Agency) Code. Sebab itu, setiap pencapaian prestasi yang diraih atlet harus dipastikan terbebas dari doping.
Sanksi yang pernah diterima Indonesia dari WADA setahun lalu disebut Menpora Amali menjadi pelajaran berharga buat Indonesia terkait anti-doping. Ia berharap, itu adalah terakhir kali Indonesia terkena sanksi dari WADA.
"Kita boleh menginginkan prestasi sampai tingkat dunia. Tapi prestasi harus kita dapatkan dari kerja keras, pembinaan dan berbagai hal yang positif. Bukan dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan tidak menggunakan doping. Itu sangat dilarang," kata Menpora Amali saat menghadiri seminar akbar IADO di Hotel Sultan, Jakarta.
"WADA Code itu sangat lengkap. Pada saat kena sanksi saya kira baru kita sadar kita sangat penting tahu tentang anti doping. Saya harap sanksi itu yang terakhir, kita punya pelajaran yang sangat berharga terhadap anti-doping dan sanksi yang kita terima," ujar Menpora.
Sementara itu, Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia) Raja Sapta Oktohari menyebut pentingnya sosialisasi doping kepada seluruh stakholder olahraga nasional untuk menghindari sanksi WADA di kemudian hari.
Terlebih, saat ini Indonesia memiliki IADO atau Indonesia Anti-Doping Organization yang telah berjalan sesuai dengan tata kelola yang profesional dan merujuk kepada WADA. Dalam pengelolaannya, Oktohari mengatakan IADO harus komunikatif dan mengikuti WADA Code.
"Ini bukan organisasi sendirian, tapi bagian dari organisasi lain, baik itu stakeholder di Indonesia maupun stakeholder di internasional. Saya pikir Pak Gatot orang yang tepat, komunikatif dan sampai hari ini komunikasi kita sangat baik dengan WADA. Belum ada komplain, justru mereka beri pujian bahwa IADO hari ini sangat berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya," kata Oktohari
Menurut Oktohari, sanksi yang pernah diterima Indonesia dari WADA setahun lalu bukan hanya karena ada atlet yang terkena doping. Lebih dari itu, Indonesia tidak memiliki lembaga anti doping yang bekerja secara profesional.
"Yang penting bukan nangkepin orang pakai doping, tapi yang penting mensosialisasikan doping itu apa dan bagaimana. Bagaimana orang bisa ditangkap kalau dia tidak tahu salahnya di mana. Dulu kita di sanksi masalahnya bukan doping, tapi Indonesia tidak punya lembaga anti-doping. Sekarang kita punya IADO yang sangat profesional yang dikelola timnya Pak Gatot," ujar Oktohari.
"Saya secara pribadi, sebagai Ketua Satgas pada saat itu maupun sebagai Ketua NOC Indonesia paling berpekentingan terhadap profesinoalisme dari IADO. Kita user, jadi kalau sampai ada apa-apa yang terganggu ya kita. Sebab, kita persiapkan semua kegiatan, atlet dan lain-lain kok tiba-tiba Indonesia disanksi karena tidak mengikuti WADA Code, akhirnya semua jadi percuma," jelas Okto, sapaan akrab Oktohari.
Sementara itu, Ketua IADO Gatot S Dewa Broto mengungkapkan seminar akbar tentang anti-doping yang digelar merupakan yang pertama sejak 2006. Seminar ini disebut menjadi sangat penting untuk menyadarkan kembali para stakeholder olahraga akan betapa pentingnya anti-doping.
"Belajar dari case setahun lalu pada saat kena sanksi, di mana kami terima kasih kepada Pak Okto selaku Ketua Satgas Penanganan Sanksi WADA yang seharusnya kita dapat sanksi satu tahun, tapi bisa diperkecil jadi tiga bulan."
"Itu ternyata tidak semata-mata karena ada atlet atau banyak atlet yang kena doping. Sebenarnya hanya dua atlet yang terkena doping, tapi karena good governance di Indonesia tidak rapih. Seperti yang tadi disampaikan WADA, kita tidak patuh dengan pelaksanaan aturan, komunikasi tidak rapih dan yang paling pokok adalah kewajiban-kewajiban WADA terpenuhi," tutup Gatot.